Aku ingin engkau memberi judul
Langit siang tadi berwarna oranye dan biru abu-abu. Awannya berarak seperti bubur sumsum yang tercecer di lantai. Mataharinya yang bulat kecil, memedarkan warna oranye yang menyilaukan. Kamu mungkin suka. Menuju sore, matahari yang menjadi magenta pecah menjadi berkas cahaya dan membuat langit berwarna merah muda. Malam ini, langit-langit kamar berwarna putih, dengan satu lampu menggantung di tengah.
Aku ingin melambaikan tangan dan memintamu berjaga diri. Hati-hati. Tapi perpisahan akan menyisakan rasa sepi yang tak nyaman. Seperti kehilangan bunyi 'nging' di gendang telinga. Kosong yang menghimpit. Kosong yang membuat kepala terasa penuh.
Dan sejak itulah mulutmu mengeluarkan kata-kata berwarna oranye yang membuatku silau dan melangkah mundur. Tapi wajahmu merah padam, tidak muda seperti langit sore itu. Diam-diam, kamu bersihkan arakan awan dengan kain pel dan sabun lantai. Meninggalkan ruang yang bersih tapi beraroma amis telur. Kamu tak salah beli sabun lantai kan? Pernah kubilang jangan beli yang aroma apel, wangi pinus atau jeruk lebih segar. Tapi, suaraku tak bisa lagi sampai. Pemerintah belum menyediakan transportasi suara. Bukan, telepon hanya menghantarkan, aku ingin suaraku bisa tiba di depan pintu kamarmu, dan tak perlu kamu kembalikan. Setelahnya barulah aku tahu kamu usai membersihkan harap yang kudidihkan dengan api kecil.
Aku ingin berbalik dan melihatmu berdiri di bawah lampu jalan. Sehingga walau langit malam berwarna hitam, aku tetap bisa melihatmu dengan jelas. Tapi, hatimu tidak menggantung lagi di langit mana pun. Sehingga aku tak bisa membaca peta di kepalamu dan menjawab tujuanmu setelah ini. Aku ingin sekali memasang lampu di bawah lidahmu untuk memastikan apakah ada kata cinta yang kamu sembunyikan. Karena jika tak ada, semoga di telingamu masih melekat kata cinta yang kusampaikan. Jika masih ada di sana, biarlah ia menggembung dan menutupi telingamu agar tak ada kata cinta lain yang kamu dengar.
by ulfa
Komentar
Posting Komentar